TUGAS BAHASA JAWA

r9of0v0
DISUSUN OLEH :
1. Siti
Amiatul Badriyah (23)
2. Siti
Fatimah (24)
3. Siti
Nur Faizah (25)
4. Siti
Rema Shaema Devtah Niva (26)
KELAS IX D
SMPN 2 PASURUAN
Jl. Soekarno Hatta No. 84 Pasuruan
Biografi KH Abdul Hamid
KH. Abdul hamid
Lahir tahun 1333 H , ing Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Sedo 25 Desember 1985. Sekolah: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren
Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian:
pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan
Kesabarane pancen
diakui mboten kale para santri, tapi ngge kale keluarga lan masyarakat serta
umat islam kang tau kenal. Sanget jarang beliau ngamok , baik teng santri utawi
teng anak lan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid ing dinten tua, khususe sawise
kawin, sebenare kontras kale sifat kerase di masa enome.
“Kiai Hamid dulu sanget
keras,” jarene Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang,ing desa
di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Beliau yaiku anak ketiga
teko rolas saduluran, lima sadulure
yaiku saudara seibu.Saniki, di antara ke 12 dulur kandunge,kari 2 seng isih
urip, yaiku Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara
seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah,
ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri.
Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai
Shiddiq, lan ulama di Lasem lan sedo ing Jember, Jawa Timur.
Masa Cilik KH Abdul Hamid
Kiai Shiddiq yaiku ayah
KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU.
Keluarga Hamid pancen nduwe keterikatan seng sangat kuat kale dunia
pesantren.Ingkang dulure seng lain, Hamid mulai cilik dipersiapake gawe dadi
kiai. Anak kepapat iku mula-mula sinau mbaca al-Quran teko ayahe. Wektu umur 9 tahun, ayahe mulai ngajari ilmu fiqih
dasar.
3 tahun meneh, putu
kesayangan itu mulai pisah teko wongtuane, gawe menimba ilmu di pesantren
kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sanget disayang apik teng ayah utawa
kakeknya. Pas cilik,ketok tanda-tanda bahwa beliau bakal dadi wali lan ulama
ageng.
“Wektu usia enem tahun,wes ketemu kale Rasulullah,”jarene. Di
njero kepercayaan seng berkembang di kalangan warga NU, khususe kaum sufi,
Rasulullah walau wes wafat sekali waktu nemoni wong-wong tertentu, khususe para
wali. Duduk di njero kono ae, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul
menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid molai ngaji fiqih
teko ayahne lan para ulama ing Lasem. Pas umur 12 tahun, beliau molai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeke, KH. Shiddiq, ing
Talangsari, Jember. 3 tahun maneh beliau dijak kakeke gawe lungo kaji menyang
pertama kali kale keluarga, paman-paman lan bibi-bibi e. Nggak suwe meneh
pindah menyang pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa iku lan desa-desa
sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun,
ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Byen,koyok dituturkan
anak bungsunya seng saiki nggantino dadi pengasuh Pesantren Salafiyah, H.
Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi seng cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah
melahirkan akeh ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am
NU.” Menurut Idris, inilah pesantren seng wes akeh berperan dalam pembentukan
bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman.Wangsule
teko pesantren iku, beliau tinggal di Pasuruan, kale wong tuane . Di kene
semangat keilmuannya nggak tau Padam. Karo tekun, beliau melu pengajian Habib
Ja’far, ulama besar di Pasuruan pas iku, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid kawin pas umur 22
tahun karo sepupune dewe, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan
iki dikarunia enem anak, siji di antarane putri. Saiki tinggal telu wong seng
isih urip, yaiku H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid ngelakoni
masa-masa awal urip berkeluarga soroh. Selama beberapa tahun beliau teros urip
bareng mertuae ing umah seng adoh lan mewah. Gawe nguripi keluargane, saben
dino beliau ngayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker)
sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan,
30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarane bareng kale
diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama
dua tahun mboten patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah.
Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda
itu.
Terutama gawe sang
istri Nafisah seng begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya
itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang
amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal
umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya
bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan,
seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid nggak disapa karo istrine selama empat
tahun.
Tapi, tak pernah
sekalipun keluhan darine. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga
tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak
Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah
mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”,
katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau ngge
diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat
marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan
bagi anak-anaknya gawe bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan
shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh ngguga kabeh, Hamid juga
memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil.
Namun, begitu kabeh menginjak remaja, Hamid lebih seneng menyerahkan
anak-anaknya ke pesantren lain.
Nggak hanya nang anak-anak, tapi juga istrinya,
Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak
pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab
berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan
pada istrinya. Lan lebih akeh, kata Idris, seng diajarkan yaiku kitab-kitab
mengenai akhlak, koyok Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang
lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu
pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau
pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang
ilmu tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah
menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri seng
baik.
Di sini, Kiai Hamid
mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal
kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir
memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid
sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang
dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia
hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren lan
pelatarannya saben dino Ahad selalu penuh ambek pengunjung gawe melu pengajian
sawise salat subuh ini. Mereka tidak
hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab
Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya
membaca beberapa baris teko kitab iku.
Selebihne yaiku
cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Nggak jarang,
banyu matane mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid
memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya
‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid duduk seng
menolak dunia ambek sekali. Beliau, konon, memang selalu menolak dikek i montor
Mercedez, tapi beliau gelemnumpak i. Bangunan lan perabotan-perabotannya cukup apik,
meski nggak terkesan mewah.
Beliau seneng
berpakaian lan bersorban seng serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu ketok rapi, nggak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak
bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja
kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,”
katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang
yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu usaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah cerita,
suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi
(tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti.
Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya
saja. “O, rupane seneng kulit roti,” pikir istrinya. Esok e beliau tuku roti
njero jumlah seng cukup gede, terus nyuguhno suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid
tertawa. “Aku duduk penggemar kulit roti. Lek aku mangan wingi,iku kerono aku
bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali
Kiai Hamid ditawari montor Mercedez oleh
H. Abdul Hamid,wong sugih di Malang. Tapi, beliau terus nolaknya dengan halus.
Lan gawe nggak nggawe kecewa, Hamid ngomong, beliau kate ngehubunginya
sewaktu-waktu membutuhkan montor iku. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk
tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk teko ajaran idkhalus
surur (nyenengno wong liyo)koyok seng dianjurno nabi. Misalnya, jika
bertamu dan sedang berpuasa sunnah, beliau selalu nyengetno nang tuan rumah, sehingga nggak
ngerasa kecewa. Selain iku, beliau selalu nekani undangan, di endianteko sopo
ae.
Wisata
Religius Ing Makam KH. Abdul Hamid ing Pasuruan
![]() |
Senajan
kuburan iki ora kalebu makam kelas Walisongo utawa makam kuna suci, nanging
Pesona lan gadhah kharisma saka KH pungkasan. Abdul Hamid tansah ngajak liyane
pengunjung kanggo lelungan karo ziarah agama ana.
![]() |
Ana uga mawarni-warni sade digunakake souvenirs wangun
kang ana foto KH. Abdul Hamid. Makam KH. Abdul Hamid ana ing kamar sing ora
amba banget.
![]() |
Sikap asor 'asring piyambakipun sedulor
kanggo nyebutake ajaran Imam Ibnu Atha'illah ing kitab Al-Hikam;
"Pendamlah wujudmu ing bumi khumul (ketidakterkenalan)".
![]() |
Apike, nalika ing pakuburan ana cenderung
saka sing nggowo kunci utawa kuburan kanggo nyuwun tips utawa sedekah saka
pengunjung, ing lokasi iki sabenere bab kuwi wis ingkang boten pareng. Ing
Papan sing dipasang ing kothak amal bebaya ditulis matur sing haram legal
kanggo pengunjung kanggo menehi dhuwit kanggo Makam perwira.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrohmanirrahim
Muji syukur Alhamdulillah. Datenga
Dzat ingkang Moho Murah, Ingkang paring taufiq lan hidayah. Sahingga kanthi
semangat lan bergairah. Kawulo saget ngrampungaken artikel bahasa jawa punika.
Menawi susunan puniko salah. Kulo nyuwun kanthi ridhoning manah. Dipun leresaken supados genah. Lan mugiyo artikel puniko saget manfaat lan mashlahah ugi saget barokah, Tumrap poro ummah
Menawi susunan puniko salah. Kulo nyuwun kanthi ridhoning manah. Dipun leresaken supados genah. Lan mugiyo artikel puniko saget manfaat lan mashlahah ugi saget barokah, Tumrap poro ummah
Fiddunya wal Akhiroh.
Amiin.
Amiin.
Pasuruan, 20 Januari 2015
Penyusun
Kelompok
Semoga Makalah ini bermanfaat,,,,Matur Nuwunnn......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar